Selasa, 24 Juli 2012

my own short story


CERITA KECIL SEBELUM PINDAH
Oleh: Margaretha Ayu Giovinna

           Aku memandangi gambarku sekali lagi, tidak terlalu buruk, sebentar lagi pasti selesai, gumamku bangga. Pekerjaanku terhenti sejenak melihat Ibu yang datang membawa makanan “kamu makan dulu sana, gambarnya nanti  dilanjutin lagi habis makan” kata Ibu “tapi tanggung Bu, sebentar lagi juga selesai kok” bantahku sambil terus mewarnai gambarku, “makan itu jangan ditunda-tunda” kata Ibu lagi, aku berdiri “baiklah” ujarku sambil keluar kamar lalu menuju dapur. Tak berapa lama aku sudah kembali ke kamarku lagi sambil membawa makanan.”Na, Ibu mau tanya” kata Ibu “Tanya apa Bu?”jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari kertas gambarku, “Bagaimana kalau kita pindah ke Bekasi?” aku lalu menatap Ibu “Kenapa harus pindah Bu?” tanyaku “Ya kau harus memikirkan Ayahmu yang bekerja disana, apa kau tidak mau tinggal bersama dengan Ayahmu?” aku berpikir sejenak, Ayahku memang bekerja di Jakarta dan tinggal di Bekasi, sedangkan aku, Ibuku dan dan Vanni saudara kembarku tinggal bersama Nenek, Bude dan Kakek didesa bernama Belitang di Sumatera Selatan. Ayahku tidak bisa tinggal bersama kami karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, sedangkan Ibuku belum bisa meninggalkan kedua orangtuanya. Tinggal bersama sebagai satu keluarga yang utuh tentu saja sudah merupakan impianku sejak lama. aku menatap Ibu lalu tersenyum “Tentu saja aku mau Bu, kapan kita akan pindah?” Ibu tertawa “Nanti, satu minggu lagi” katanya, aku mengangguk. Baiklah, selama seminggu ini Aku akan menghabiskan masa-masa terakhir disekolahku ini dengan sebaik mungkin dan tidak menyesal dengan keputusanku.
                 Aku membuka mata perlahan kemudian terpejam lagi, malas sekali untuk bangun pagi seperti ini, tapi mengingat hari ini aku akan sekolah aku bergegas bangun dan segera keluar kamar bersiap untuk mandi. Seperti biasa, rumah kami ini selalu terlihat ramai dipagi hari melihat Ibu yang sudah selesai mencuci baju dan langsung begegas mandi, melihat Bude dan Nenek yang sedang memasak makanan untuk sarapan kami, mendengar bunyi suara televisi diruang keluarga yang sedang ditonton oleh kakek, atau mendengarkan aku dan Vanni yang tidak sabar menunggu orang-orang yang sedang mandi, belum lagi celotehan Dimas, adik sepupuku yang setiap pagi selalu datang kerumah kami. Aku bergegas mandi kemudian sarapan lalu siap-siap berangkat ke sekolah.                 Sekolahku sangat dekat dari rumah, tidak sampai 5menit aku sudah tiba di sekolahku. Aku berlari-lari kecil menuju kelasku, Kelas III B. “Vinna” panggilan Mega membuatku menoleh “eh hai Mega, kenapa?” aku tersenyum melihat sahabatku yang satu ini “enggak apa-apa, eh kamu udah ngerjain PR?” tanyanya, aku mengangguk “Eh Ga, seminggu lagi aku mau pindah ke Bekasi lho ikut Ayahku” kataku, “Hah?Seminggu lagi?” Tanya Mega lalu bergegas mencari kalender, aku mengikutinya “Iya, mungkin” jawabku, “Yah, kenapa kamu harus pindah sih Na? Memang kamu nggak betah tinggal disini?” ditanya begitu aku langsung menggeleng “Enggak lah, aku betah kok, Tapi kata Ibuku kami harus ikut tinggal bareng Ayah” “Kita pasti bakalan kangen banget sama kalian berdua” katanya. Melihat Mega berkata seperti itu, aku terdiam, yah tentu sangat berat jika harus meninggalkan para sahabatku disini “yah, aku juga Ga, tapi nanti tiap liburan aku pasti main kesini” kataku menghiburnya, “Oke, janji ya?” katanya senang, aku mengangguk lalu tertawa. Tak lama bel masuk berbunyi seluruh siswa masuk kelas dan memulai pelajaran bersama wali kelasku, Bu Rosita. Ya, aku pasti juga akan kehilangan sosok guru seperti beliau. Bu Rosita adalah wali kelas kami. Pintar, seorang yang lembut dan penasihat yang baik itulah yang aku kagumi dari beliau.

                 Pelajaran pertama telah usai, sekarang adalah pelajaran yang paling tidak aku sukai, yaitu olahraga. Entah kenapa aku sangat tidak menyukai pelajaran olahraga, aku tidak terlalu pandai berolahraga, mungkin karena itu kemampuanku dalam bidang ini sangat pas-pas an. “Hari ini materi kita adalah bermain bola kasti, jadi bapak akan membagi kalian dalam 2 kelompok dan silahkan mulailah bermain bola kasti sesuka kalian, tapi nilainya juga suka-suka bapak ya?” suara tawa Pak Idris, guru olahragaku terdengar sampai ke telingaku, guru ini sangat menyenangkan jadi aku pikir dia tidak cocok berada dalam mata pelajaran yang tidak aku senangi. Kami lalu mulai bermain kasti, yah seperti yang aku bilang tadi kemampuanku memang pas-pas san jadi akulah yang paling sering terkena pukulan bola. Tapi rasa sakit itu mengalahkan teriakan gembira teman-temanku yang berhasil mengalahkan tim lawan. Memang benar tawa teman-temanku memang bisa mengubah segalanya. Bagi kami kegembiraan bersama adalah hal yang paling penting. Aku pasti akan kehilangan momen-momen seperti ini nanti. “Eh sudah jam istirahat ya? Ayo jajan!” ajakan Indah, salah satu sahabatku membuat kami melupakan sejenak tentang kemenangan tadi. Kami segera menuju ke kantin. Sebenarnya yang kami sebut kantin hanyalah sebuah rumah kecil yang dijadikan sebagai tempat berjualan oleh pemiliknya, mungkin lebih cocok disebut “rumah kantin”. Tapi apapun itu kami tetap menikmatinya, suasananya, tempatnya dan tentu saja makanannya. Adakah kantin seperti ini disekolah baruku nanti?. Mungkin aku akan kehilangan mereka dan semuanya juga.
                 Seminggu sudah kuhabiskan masa-masa ku disekolah ini, hari ini aku harus menepati jajiku pada Ibu, yaitu pindah ke Bekasi. Cepat sekali waktu berlalu. Berat rasanya meninggalkan semua yang ada disini. “Ayo naik, bis nya sudah datang” suara Ibu membuyarkan lamunanku. Lalu kami segera masuk. Baiklah, kini sudah saatnya aku membuka buku yang baru yang mungkin akan lebih baik.
               Perjalanan ke Bekasi memakan waktu yang sangat lama, aku sebenarnya tidak terlalu menikmatinya. Sampai akhirnya pagi ini kami sudah sampai di depan rumah yang katanya akan menjadi tempat tinggal kami ini. Ayah yang sepertinya sudah menunggu kami sejak tadi terlihat gembira menyambut kedatangan kami, lalu kami segera masuk rumah itu. “Nah, ini kamar kalian” Kata Ayah menunjukkan sebuah ruangan didepanku, aku cepat-cepat, ingin sekali beristirahat. Lelah rasanya berada dalam bis selama dua hari satu malam. “Kalian tidur saja dulu, besok pagi kalian harus ke sekolah baru” Kata Ibu. Sekolah baru? Seperti apa itu? Sama atau berbedakah?
                 “Ayo bangun anak-anak Ayah, kita akan ke sekolah baru hari ini” suara Ayah membangunkanku dari tidur pulasku. Aku tersenyum “seperti apa sekolah baruku nanti Yah?” tanyaku “tentu saja lebih menyenangkan” jawab Ayah pasti. Tapi aku tidak merasakan semangat kepastian Ayah. Aku bergegas menuju kamar mandi kemudian sarapan lalu berangkat kesekolah.
                 Inikah sekolah baruku itu? Aku sudah sampai didepannya, lalu segera mengikuti Ibu yang berjalan ke ruang guru. Setelah Ibu berbicara cukup lama dengan para guru, aku lalu diantar ke kelas baruku. Tepat didepan Kelas IV B aku berhenti dan dipersilahkan masuk. Lalu perkenalan, cukup lama juga basa-basi yang dikeluarkan selama sesi perkenalan. Setelah dirasa cukup, aku segera menuju tempat dudukku dan mulai belajar. Sejenak, aku memperhatikan kelas ini, sungguh berbeda dengan kelasku yang dulu, kelas ini sangat ramai karena dihunu oleh 40 orang siswa, beda dengan kelas lamaku yang hanya diisi kurang lebih 20 orang siswa saja. Aku lalu mengalihkan pandanganku ke papan tulis, Beliau lah guru baruku tapi mengapa cara mengajarnya tidak sama dengan guru-guru lamaku dulu? Ah, apa ada segala sesuatu yang semuanya mirip? Aku lalu berusaha konsentrasi pada materi pelajaran. Teeeeetttt…… Suara bel itu berbunyi setelah 2 jam pelajaran yang langsung membuat seisi kelas ini begitu gaduh, bisa ku tebak pasti ini bel istirahat.

Aku segera keluar kelas, beberapa anak memandangiku sambil tersenyum seolah-olah mencoba mengakrabkan diri mereka padaku. Aku hanya membalas senyum mereka dengan sekedarnya. Aku memandangi halaman sekolah baruku yang cukup luas ini, disini tidak ada “rumah kantin” yang biasa kudatangi dulu. Aku duduk termangu, jadi ini buku baruku itu? Kehidupan yang seperti inikah? Kenapa harus berbeda? Apakah buku baru dan buku lama tidak bisa disamakan saja? Apa sekolah ini tidak bisa dibuat senyaman sekolahku yang dulu? Kataku dalam hati. Perasaan menyesal mulai menghampiriku. Kenapa aku setuju dengan rencana Ibu? Seharusnya aku tidak usah pindah pikirku lagi.
Tiba-tiba tangan sesorang yang terjulur dihadapanku menyadarkan aku dari kekesalan yang kusimpan sendiri. “Vinna ya?” tanyanya, aku menjawab “iya, kenapa” “ayo jajan, kamu belum pernah menikmati jajanan sekolah ini kan?” ajaknya sambil tersenyum. Mungkin dia ini yang akan teman baruku. Senyum gadis tadi seolah mengingatkanku pada sosok Mega, sahabatku. Ya baiklah, aku mengerti. Aku hanya harus membuat sama segala sesuatunya seperti yang dulu, menjadikannya nyaman seperti yang dulu dan memperlakukannya sama seperti yang dulu. Menghormati guru-guru baruku sama seperti aku menghormati Bu Rosita, Pak Idris dan guru-guru lamaku dulu. Menganggap tempat kantin baruku senyaman “rumah kantin” ku dulu dan memperlakukan teman-teman baruku sama dengan para sahabatku yang disana. Tidak sulit bukan? Aku hanya perlu menganggap semuanya sama seperti yang dulu. Aku meraih uluran tangan teman baruku  itu “ayo” kataku tersenyum.